Senin, 01 September 2014




                           KAWASAN  LAUT  BERDASARKAN
                        KONVENSI  HUKUM  LAUT  PBB  1982 
                      ( The United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 )

A.    Wilayah Perairan Indonesia Zaman Hindia Belanda
Indonesia adalah negara yang lebih tiga setengah abad berada di bawah  pemerintahan kolonialisme Belanda. Sebagai negara yang berada di bawah penjajahan maka semua bidang kehidupan diatur oleh penjajah. Begitu juga mengenai wilayah perairan Indonesia berada di bawah pengaturan pemerintah Hindia Belanda. Peraturan wilayah laut Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939 yang dituangkan dalam Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonnatie (TZMKO) dan dicantumkan dalam Staadblad 1939 Nomor 442 yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai ordonasi laut teritorial dan lingkungan maritim. Ordonasi ini mengatur aspek pertahanan dan keamanan serta segi ekonomi di bidang perikanan. Dalam menetapkan lebar laut teritorial ordonasi ini menganut teori tembakan meriam yang dikeluarkan oleh seorang ahli hukum Belanda yang bernama Cornelius Van Bijnkershoek pada tahun 1702 yang menyatakan :  “Kedaulatan negara dapat diperluas keluar sampai kepada kapal-kapal di  laut sejauh jangkauan tembakan meriam”1
Pada abad ke-18 jangkauan  rata-rata dari tembakan meriam adalah sejauh tiga mil. Teori ini diterapkan bagi laut teritorial Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 angka 1 – 4 TZMKO sehingga laut teritorial Indonesia membentang ke arah laut sampai jarak tiga mil equivalent 4,5 km yang diukur dari pantai tiap-tiap pulau saat air surut. Hal ini sangat merugikan bagi wilayah Indonesia mengingat Indonesia adalah negara  kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Dengan diterapkannya teori tembakan meriam ini , maka wilayah perairan Indonesia menjadi terpecah- belah karena setiap pulau terdiri dari bagian lautnya masing-masing yang membentang ke arah laut  selebar 3 mil, sehingga terdapat bagian-bagian laut bebas di luar 3 mil tersebut. Hal ini sangat membahayakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa  serta  pertahanan dan keamanan negara.

B. Deklarasi Juanda Tahun 1957.
Berdasarkan sejarah yang telah diuraikan di atas maka pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan lebar  laut teritorial selebar 12 mil laut. Ketentuan  ini dituangkan dalam pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1954 dan  dikenal dengan Deklarasi Juanda yang  menyatakan :
“ Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan negara Republik Indonesia dan demikian merupakan bagian pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari negara  Republik Indonesia”

Pertimbangan dikeluarkannya Deklarasi Juanda 1957 oleh pemerintah Indonesia adalah :
1.      Bentuk geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri
2.   Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi oleh pemerintah kolonial sebagaimana tercantum dalam “Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonnantie 1939” Pasal 1 ayat 1, tidak lagi sesuai dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia, karena seolah-olah Indonesia terpecah-belah dalam pulau-pulau yang memiliki laut teritorial masing-masing.2
3.    Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk melindungi kebutuhan dan keselamatan negaranya. 3
4.    Bahwa dengan dikeluarkannya pernyataan Deklarasi Juanda maka pelayaran asing pada alur lintas laut kepulauan tersebut yang dulunya merupakan alur pelayaran bebas masih dimungkinkan untuk dilakukan pelayaran internasional dengan maksud damai.
 Deklarasi Juanda  merupakan konsepsi kewilayahan yang dikenal dengan “Konsepsi Negara Kepulauan” (Archipelagic State Concept). Dalam perkembangan selanjutnya, pernyataan tersebut dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) agar secepatnya mendapatkan pengakuan serta kekuatan hukum yang pasti. Kemudian  pada tahun 1960 ditingkatkan dalam bentuk Undang-undang Nomor  4/ PRP/1960  tentang  Perairan Indonesia.4

C.Konsepsi Negara Kepulauan
Konsepsi negara kepulauan merupakan konsepsi kewilayahan. Ada  tiga  prinsip mengenai pengertian negara kepulauan yaitu :
1.  Negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari pulau dan bentuk-bentuk lain (karang-karang keringdan sebagainya) yang didasarkan atas kesatuan geografis, ekonomi politik dan sejarah yang diakui atau dapat diakui seperti itu dan menggambarkan garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan yang merupakan dasar untuk mengukur laut teritorial.5
2.      Perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal merupakan perairan kepulauan yang berada di bawah kedaulatan penuh negara kepulauan yang bersangkutan yang meliputi permukaan laut, dasar laut dan  tanah  dibawahnya  serta  ruang udara di atasnya.
3. Pada sisi luar dari garis pangkal terdapat jalur laut selebar 12 mil yang ditarik dari garis pangkal kepulauan. Laut teritorial berada di bawah kedaulatan penuh negara kepulauan yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya serta  permukaan laut dan ruang udara di atasnya.6

D. Perjuangan Indonesia  Mengenai  Konsepsi  Negara  Kepulauan.

Dengan dikeluarkannya Deklarasi Juanda maka Indonesia perlu memperjuangkannya di forum internasional untuk memperoleh pengakuan internasional. Perjuangan tersebut dilakukan baik secara langsung melalui forum-forum konferensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) dan secara tidak langsung melalui perjanjian bilateral  tentang batas maritim dengan negara-negara tetanga.                                                                                      

Perjuangan Secara Langsung : Konferensi  Hukum Laut PBB ke-1 tahun 1958.

Berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21   Februari 1958, telah disepakati akan diadakannya konferensi hukum laut. Resolusi Majelis Umum diambil berdasarkan pendapat International Law Commision  yang menyarankan perlu diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut. Dalam konferensi yang pertama Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Subardjo. Mr. Subardjo memulai usahanya untuk memperjuangkan konsepsi negara kepulauan agar  mendapat pengakuan internasional ,namun pada saat itu tanggapan peserta khususnya negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang didukung oleh negara-negara maritim lainnya tidak menyambut  baik pendirian Indonesia.7 Meskipun dalam konferensi ini belum menghasilkan kesepakatan mengenai lebar laut teritorial seperti yang diperjuangkan Indonesia  melalui Deklarasi Juanda tetapi konferensi ini telah menghasilkan empat buah konvensi, yaitu :
1)  Konvensi Mengenai Laut Teritorial  Dan Jalur Tambahan.
      (Convention On The Teritorrial Sea And Contiguous Zone)
2)  Konvensi Mengenai Laut Lepas Atau Laut Bebas.
      (Convention on The High Seas)
3)  Konvensi Mengenai Perikanan Dan Perlindungan Kekayaan Hayati Di Laut Lepas. (Convention on  Fishing And Conservation of Living Resources of  The High Seas)
4)  Konvensi Tentang Landas Kontinen.
      (Convention on The Continental Shelf)                                                      
Konvensi-konvensi tersebut di atas telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1961, tetapi Indonesia melakukan reservasi pada konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan karena perjuangan Indonesia tentang negara kepulauan belum mendapat pengakuan internasional.
 
Konferensi Hukum Laut PBB ke-2 Tahun 1960 .
Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam penetapan lebar laut teritorial di antara negara-negara. Dengan demikian diperlukannya suatu konferensi hukum laut berikutnya yang diadakan khusus untuk membahas laut teritorial. Sebagai lanjutan dari konferensi yang pertama maka pada tahun 1960 di Jenewa kemudian kembali diadakan konferensi Hukum Laut PBB yang kedua (UNCLOS II).Terdapat berbagai pendapat mengenai lebar  laut teritorial, yaitu :

Pendapat Amerika Serikat dan Kanada.
Suatu negara berhak menetapkan lebar laut teritorial sampai batas maksimal 6 mil yang diukur dari garis pangkal.8 Suatu negara berhak menetapkan jalur perikanan yang berbatasan dengan laut teritorial maksimal 12 mil yang diukur dari garis pangkal  laut teritorial. Konsepsi ini dikenal dengan konsepsi six plus six.

Pendapat negara berkembang
Suatu negara berhak untuk menetapkan lebar laut teritorial sampai batas maksimal 12 mil dari garis pangkal . Apabila lebar laut teritorial kurang dari 12 mil maka negara yang bersangkutan berhak menetapkan jalur perikanan eksklusif yang lebarnya maksimum 12 mil diukur dari garis pangkal laut teritorial. Berdasarkan bentuk geografis Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang memiliki sifat dan corak tersendiri serta berdasarkan fakta sejarah bahwa Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh maka untuk mengukuhkan Deklarasi Juanda  Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 4 Prp 1960 tentang Perairan  Indonesia. Dalam kesempatan  UNCLOS II perjuangan Indonesia tentang konsepsi negara kepulauan dilanjutkan dengan membagi-bagikan  Undang-undang Nomor 4 Prp 1960 pada peserta konferensi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tetapi perjuangan Indonesia di UNCLOS II tidak membuahkan hasil karena tidak terjadi kesepakatan antara negara – negara dalam menetapkan lebar laut teritorial sehingga dalam menetapkan lebar laut teritorial, negara– negara menentukan sesuai dengan kepentingan negaranya masing-masing.

Konferensi Hukum Laut PBB Ke-3 Tahun 1982. 
Latar belakang dari UNCLOS III ini adalah negara-negara berkembang merasakan bahwa ketentuan–ketentuan hukum laut internasional yang berlaku kurang memberikan keadilan dan kepastian hukum dengan  alasan  :

  •  Masih banyak  dianutnya  laut  teritorial  yang  sempit  yang   merugikan hak dan kedaulatan negara-negara pantai terutama  negara berkembang. 
  • Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber  kekayaan alam hayati di laut yang  berbatasan  dengan negara pantai yang  berakibat  merugikan negara -negara berkembang 
  • Terjadinya pencemaran-pencemaran laut yang merugikan negara –negara pantai. 
  • Terjadinya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati  maupun non hayati di luar landas kontinen yang hanya dinikmati dan   menguntungkan negara-negara maju.
           Akhirnya pada tahun 1973 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 2750 yang intinya menetapkan akan diadakanya konferensi hukum laut PBB yang ke tiga. Majelis Umum PBB menugaskan pada Komite Dasar Samudra Dalam (United Nations Sea Bed Committee) untuk melaksanakan konferensi tersebut. Dalam sidang pertama Komite Dasar Samudra Dalam PBB (United Nations Sea Bed Committee),Indonesia  bersama-sama dengan Fiji , Mauritius dan Pilipina menyampaikan pernyataan mengenai prinsip-prinsip negara kepulauan. Pernyataan tersebut berisi  :

  • Negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari pulau-pulau dan bentuk-bentuk lain, yang didasarkan atas kesatuan geografis, ekonomis, politik dan sejarah, diakui atau dapat diakui seperti itu dan menggambarkan garis lurus yang menghubungkan titik-titik dari pulau terluar dan karang –karang kering dimana lebar laut wilayah dari negara kepulauan  ditentukan.
  • Perairan yang terletak di sisi dalam dari garis pangkal, tidak peduli akan dalamnya atau jaraknya dari pantai, permukaan laut, dasar laut dan ruang udara di atasnya merupakan miliknya dan tunduk kepada kedaulatan dari negara kepulauan itu 
  • Lintas damai dari kapal-kapal asing melalui  negara kepulauan akan diizinkan sesuai dengan peraturan nasionalnya dengan menghormati peraturan– peraturan hukum internasional9.
Pernyataan tersebut di atas disertai permohonan agar prinsip-prinsip tersebut dipertimbangkan dan dibahas dalam koferensi. Akhirnya perjuangan Indonesia selama duapuluhlima tahun mengenai konsepsi negara kepulauan telah membuahkan hasil. Melalui konferensi Hukum Laut PBB 1982 konsepsi negara kepulauan mendapat pengakuan internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dimuatnya pengaturan mengenai negara kepulauan (Archipelagic States) dalam bab IV pasal 46-54 Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Hukum Laut PBB 1982 telah ditandatangani oleh 117 negara peserta di Montego Bay,Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang  Nomor 17 Tahun 198510.

Perjuangan secara tidak langsung.

Perjuangan yang ditempuh Indonesia agar konsepsi negara kepulauan mendapat pengakuan internasional tidak hanya melalui forum Konferensi Hukum Laut PBB  tetapi  juga melalui forum – forum perjanjian bilateral mengenai batas maritim dengan negara-negara  tetangga, antara lain :
  • Penetapan garis batas Landas Kontinen antara Indonesia-Malaysia tahun 196911.
  • Penetapan garis batas laut wilayah antara Indonesia-Malaysia di Selat  Malaka tahun 1971.12
  • Penetapan batas-batas dasar laut tertentu antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah CommonWealth Australia tahun 1971.13
  •  Persetujuan penetapan garis-garis batas Landas Kontinen di bagian utara Selat Malaka antara Indonesia – Malaysia - Thailand tahun 1972.14
  • Persetujuan penetapan garis batas Landas Kontinen di bagian utara Selat Malaka dan di Laut Andaman tahun 1972 antara Indonesia – Thailand.
  •  Persetujuan penetapan garis batas dasar laut di daerah Timor dan laut Arafuru antara tahun 1972 antara Indonesia -  Ausralia.15
  • Penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di Selat Singapura tahun 1973 antara Indonesia dan Singapura.16
  • Persetujuan  garis batas Landas Kontinen di Laut Andaman dan Samudra Hindia  tahun 1974 antara Indonesia dengan India.
Perjuangan Indonesia mengenai konsepsi negara kepulauan  menunjukkan hasil. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya negara yang menyatakan keberatan dengan dimasukkannya prinsip- prinsip negara  kepulauan dalam perjanjian tersebut , dengan menerapkan Undang-undang  Nomor  6 Prp 1960  tentang  Perairan Indonesia.

Kawasan Laut Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
    
Mengacu kepada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 maka dapat ditetapkan kawasan laut yang berada di dalam dan di luar yurisdiksi nasional Indonesia.

1.Kawasan Laut Yang Berada di dalam Yurisdiksi Nasional Indonesia.
Kawasan laut di bawah kedaulatan penuh ( Souvereignty ).
Perairan kepulauan (Archipelagic waters)
Perairan kepulauan berada di bawah kedaulatan penuh negara Republik Indonesia. berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang  Perairan Indonesia, dalam Pasal 3 ayat (3) mengartikan perairan kepulauan Indonesia adalah “semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai”[17].
Perairan kepulauan terdiri dari perairan pedalaman (internal waters), muara – muara sungai, perairan pelabuhan, teluk – teluk dan selat yang berada di perairan kepulauan. Perairan pedalaman terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat. Kedaulatan negara di perairan kepulauan meliputi permukaan laut, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya. Akan tetapi walau di sana terdapat kedaulatan penuh namun terdapat hak dan kepentingan internasional yang harus dihormati yaitu :
a)       Hak lintas damai (the right of innocent passage)
b)       Hak lintas alur kepulauan (archipelagic sea lanes passage)
c)       Hak penangkapan ikan secara tradisional ( Traditional fishing right ).
d)       Hak akses dan komunikasi.

Laut teritorial ( territorial sea )
Kesepakatan mengenai lebar laut teritorial tercapai pada Konferensi Hukum Laut PBB 1982. Dalam konferensi ini disepakati bahwa lebar laut teritorial adalah 12 mil dari garis pangkal. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 3 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang berbunyi: “setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorial hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal”18]. Rezim hukum yang berlaku di laut teritorial adalah sovereignty atau kedaulatan penuh suatu negara baik atas permukaan laut, dasar laut dan tanah di bawahnya serta rang udara di atasnya. Walaupun di laut teritorial berlaku kedaulatan penuh suatu negara  namun di sini terdapat hak dan kepentingan internasional yang harus dihormati yaitu hak lintas damai (the right of innocent passage) bagi kapal –kapal asing untuk melewati laut teritorial suatu negara dengan maksud damai.

kawasan laut yang berada di bawah hak-hak berdaulat. (Sovereign  Rights )
Zona Tambahan (Contiguous zone)
Di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982  pengertian dari zona tambahan yaitu jalur laut yang berdampingan dengan laut teritorial yang diukur 24 mil dari garis pangkal dimana lebar laut teritorial diukur[19]. Rezim hukum yang berlaku adalah hak dan kewenangan serta yurisdiksi terbatas di bidang tertentu yaitu : Bidang Bea Cukai  (customs), Imigrasi  (imigration), Perpajakan  (Fiscal), Kesehatan kelautan  (Sanitary)
Di luar empat bidang di atas berarti terdapat kebebasan – kebebasan internasional yang harus dihormati seperti kebebasan berlayar bagi kapal asing, kebebasan terbang bagi pesawat asing serta kebebasan memasang pipa dan kabel bawah laut.

Zona ekonomi eksklusif  (exclusive economic zone)
Pengertian zona ekonomi eksklusif adalah kawasan laut yang berdampingan dengan laut teritorial yang diukur selebar 200 mil dari garis pangkal. Zona ini disebut eksklusif karena berlaku dua rezim hukum yaitu :

  • Suigeneris atau rezim hukum khusus yang menyatakan bahwa wilayah ZEE itu bukan kawasan yang berada dalam kedaulatan penuh dan bukan pula kawasan yang berlaku rezim hukum laut bebas sepenuhnya.
  • Exclusive right yang memiliki arti meskipun suatu negara belum mampu mengusahakan kekayaan alam yang berada dalam ZEE karena keterbatasan teknologi, namun bukan berarti negara lain dapat memanfaatkan ZEE negara tersebut tanpa izin negara yang bersangkutan. Apabila negara lain ingin memanfaatkan ZEE suatu negara maka harus dengan seizin negara yang berhak atas ZEE tersebut.     
Hak dan kewenangan negara di Zona Ekonomi Ekslusif  adalah :

  • Melaksanakan hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan melakukan kegiatan–kegiatan lainnya seperti pembangkit listrik tenaga air, arus laut dan angin.
  • ·  Mempunyai yurisdiksi dan kewenangan melakukan pengawasan, menetapkan peraturan dan menegakkan peraturan tersebut yang berhubungan dengan : Pembuatan dan penggunaan pulau- pulau buatan; Penelitian ilmiah kelautan; Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
  • Hak-hak dan kewajiban lain : Hak untuk melaksanakan penegakkan hokum; Hak pengejaran seketika ; Menghormati kebebasan pelayaran dan penerbangan ; Menghormati kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa  bawah laut.
·      Kewajiban yang khusus di bidang perikanan adalah :

  • Menentukan jumlah ikan yang boleh ditangkap (the total allowable  catch / TAC ) 
  • Menetapkan jumlah kemampuan panen (capacity to harvest /CTH )
  • Menetapkan dan melaksanakan pelestarian terhadap sumber  daya alam hayati untuk jenis ikan tertentu agar tidak terjadi  kepunahan  ( Maksimum sustainable yield / MSY ).
  • Memberikan surplus di bidang perikanan kepada negara-negara tertentu .surplus adalah kelebihan dari potensi Perikanan dan kemampuan panen. Syarat-syarat negara diberikan surplus adalah : Negara tetangga ; Negara berkembang ; Melalui Perjanjian bilateral ; Negara dimana para nelayannya menangkap ikan jauh dari negaranya.
             Selain itu di dalam zona ekonomi eksklusif terdapat kekhususan-kekhususan di bidang penegakan  hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.  Kekhususan di bidang  penegakkan hukum  ini  diatur di dalam Undang-undang  Nomor  5  Tahun 1983  tentang  Zona  Ekonomi  Eksklusif. Kekhususan tersebut adalah [20] Sanksi hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggar hukum di ZEE tidak boleh berupa sanksi hukuman badan melainkan sanksi denda atau perampasan barang bukti untuk negara ; Aparat  penyidik pelanggaran hukum di ZEE Indonesia adalah  perwira TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima TNI ; Jangka waktu  antara  penangkapan dan pemeriksaan maximal tujuh hari ; pengadilan negeri / kejaksaan negri yang   berwenang  adalah     pengadilan negri   / kejaksaan negri  yang wilayah hukumnya  meliputi  pelabuhan  di mana  kapal    tersebut  ditahan.
     
Landas Kontinen  ( Continental shelf  )
Rezim hukum yang berlaku di Landas Kontinen adalah hak berdaulat dan hak ekslusif. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 penentuan batas Landas Kontinen dapat menggunakan beberapa alternatif  yaitu  : Sampai batas terluar tepian kontinen ; Sampai jarak 200 mil ke arah laut dari garis pangkal apabila batas terluar tepian kontinen kurang dari 200 mil ; Sampai jarak maximal 350 mil ke arah laut dari garis pangkal bila batas terluar tepian kontinen lebih dari 200 mil ; Sampai jarak 100 mil ke arah laut dari garis pangkal sampai kedalaman 2500 meter jika batas terluar tepian kontinen melebihi 200 mil.


2. Kawasan laut yang berada di luar yuridiksi nasional Indonesia Laut bebas ( the high seas ).
Laut bebas adalah kawasan laut yang tidak termasuk  zona ekonomi eksklusif ,  laut teritorial atau  perairan pedalaman suatu negara, atau  perairan kepulauan suatu negara kepulauan[21]. Rezim hukum yang berlaku adalah kebebasan laut lepas atau  freedoms of  high seas. Kebebasan – kebebasan di laut lepas adalah [22]:
(1)    Kebebasan berlayar ( freedom of navigation )
(2)    Kebebasan penerbangan ( freedom of  flight )
(3)    Kebebasan memasang pipa – pipa kabel bawah laut (freedom of  laying under water cables and pipe lines)
(4)    Kebebasan melakukan penelitian ilmiah kelautan (freedom    of  marine scientific research)
(5)    Kebebasan menangkap ikan (freedom of  fishing)
(6)   Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional. (freedom to construct artificial island and other installations permitted under international law)

Meskipun rezim hukum yang berlaku adalah freedom of the high seas tetapi di laut bebas negara-negara juga memiliki kewajiban – kewajiban (state obligations) di antaranya adalah :
(1)  Melakukan pemberantasan kejahatan internasional yang terjadi di laut bebas seperti  perdagangan budak, perompakkan di laut, perdagangan narkotika dan siaran gelap.
(2)    Memberikan pertolongan terhadap musibah atau kecelakaan di laut. (search and rescue).
(3)    Mencegah dan menanggulangi pencemaran laut.
(4)    Melakukan pengawasan terhadap kapal yang mengibarkan benderanya.

Dasar Samudra Dalam. ( Sea Bed Area )
Dasar Samudra Dalam adalah kawasan laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional     ( di luar Landas Kontinen ) yang berada  di bawah pengelolaan langsung  Perserikatan Bangsa-Bangsa         ( United Nations ).Kawasan Dasar Samudra Dalam dinyatakan sebagai kawasan warisan bersama umat manusia. Karena Dasar Samudra Dalam digunakan untuk kepentingan bangsa-bangsa maka  dibentuk badan otorita yang dikenal dengan International Sea Bed Authority yang dibantu oleh organ-organnya yaitu :

  • Majelis ( the assembly) :  mempunyai wewenang menetapkan kebijakan  umum.
  • Dewan ( council ) :  berwenang menetapkan kebijakan-kebijakan khusus.
  • Sekretariat ( secretariat ) : berwenang  dalam  bidang  admininistrasi
  • Perusahaan (enterpraise) ;  mempunyai wewenang terlibat langsung dalam eksplorasi    dan  eksploitasi  Dasar  Samudra  Dalam.
  • The Sea Bed Disputes Chamber : Berwenang  menyelesaikan  sengketa  Dasar  Samudra  Dalam.






1 Chairul Anwar, Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Konvensi Hukum Laut, 1982 (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1989).
14 Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia (Jakarta : Rineka Cipta, 2002).
15 Ibid.,Hal. 6.
16 Ibid.
17 Ibid.
18 Ibid., Hal. 7.
19 Kuntoro, Hukum Laut Internasional (Kuliah Hukum Laut Internasional, Jakarta, 2003).
20 Kuntoro, Ibid.
21 Hasjim Djalal,Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut (Bandung : Percetakan Ekonomi, 1979), Hal . 22.
22 Kuntoro, op. Cit.
23 Mochtar Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara Pada Konperensi Hukum Laut Ke III (Jakarta, Idayu Press, 1977), hal.10.
24 Chairul Anwar, Op.Cit., Hal. 13.
25 Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Himpunan Perundang-Undangan Bidang Maritim Tentang Garis Batas Laut Wilayah, Zona Tambahan, Landas Kontinen Dan ZEE Indonesia (Jakarta : Dinas Hidro Oseanografi, 2003). Hal .1.
26 Ibid.
27 Ibid.
28 Ibid.
29 Ibid.
30 Ibid.
31 Ibid. Hal. 2.
[32] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996  tentang Perairan Indonesia, Pasal 3 ayat (2).
[33] Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982, Tentang Hukum Laut, Pasal 3.
[34] Ibid ,  Pasal 33 ayat (2).
[35] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983, tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
[36] Konvensi Hukum Laut PBB Pasal 86.
[37] Konvensi Hukum Laut PBB, 1982 Pasal 87 ayat 1




Tidak ada komentar:

Posting Komentar