A. Wilayah Perairan Indonesia Zaman
Hindia Belanda
Indonesia
adalah negara yang lebih tiga setengah abad berada di bawah pemerintahan kolonialisme Belanda. Sebagai
negara yang berada di bawah penjajahan maka semua bidang kehidupan diatur oleh
penjajah. Begitu juga mengenai wilayah perairan Indonesia berada di bawah
pengaturan pemerintah Hindia Belanda. Peraturan wilayah laut Indonesia
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1939 yang dituangkan
dalam Territoriale Zee En Maritieme
Kringen Ordonnatie (TZMKO) dan dicantumkan dalam Staadblad 1939 Nomor 442 yang jika diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dikenal sebagai ordonasi laut teritorial dan lingkungan maritim.
Ordonasi ini mengatur aspek pertahanan dan keamanan serta segi ekonomi di
bidang perikanan. Dalam menetapkan lebar laut teritorial ordonasi ini menganut
teori tembakan meriam yang dikeluarkan oleh seorang ahli hukum Belanda yang
bernama Cornelius Van Bijnkershoek
pada tahun 1702 yang menyatakan :
“Kedaulatan negara dapat diperluas keluar sampai kepada kapal-kapal
di laut sejauh jangkauan tembakan
meriam”1
Pada abad ke-18 jangkauan rata-rata dari tembakan meriam adalah sejauh
tiga mil. Teori ini diterapkan bagi laut teritorial Indonesia yang diatur dalam
Pasal 1 ayat 1 angka 1 – 4 TZMKO sehingga laut teritorial Indonesia membentang
ke arah laut sampai jarak tiga mil equivalent 4,5 km yang diukur dari pantai
tiap-tiap pulau saat air surut. Hal ini sangat merugikan bagi wilayah Indonesia
mengingat Indonesia
adalah negara kepulauan yang terdiri
dari ribuan pulau. Dengan diterapkannya teori tembakan meriam ini , maka
wilayah perairan Indonesia menjadi terpecah- belah karena setiap pulau terdiri
dari bagian lautnya masing-masing yang membentang ke arah laut selebar 3 mil, sehingga terdapat
bagian-bagian laut bebas di luar 3 mil tersebut. Hal ini sangat membahayakan
bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta
pertahanan dan keamanan negara.
B. Deklarasi Juanda Tahun
1957.
Berdasarkan
sejarah yang telah diuraikan di atas maka pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan
lebar laut teritorial selebar 12 mil
laut. Ketentuan ini dituangkan dalam
pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1954 dan dikenal dengan Deklarasi Juanda yang menyatakan :
“ Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik
Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar
daripada wilayah daratan negara Republik Indonesia dan demikian merupakan
bagian pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari
negara Republik Indonesia”.
Pertimbangan dikeluarkannya Deklarasi Juanda
1957 oleh pemerintah Indonesia
adalah :
1.
Bentuk geografis Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat
dan corak tersendiri yang memerlukan pengaturan tersendiri.
2.
Bahwa penetapan batas-batas
laut teritorial yang diwarisi oleh pemerintah kolonial sebagaimana tercantum
dalam “Territoriale Zee En Maritieme
Kringen Ordonnantie 1939” Pasal 1 ayat 1, tidak lagi sesuai dengan
kepentingan, keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia, karena
seolah-olah Indonesia terpecah-belah dalam pulau-pulau yang memiliki laut
teritorial masing-masing.
3.
Bahwa setiap negara yang
berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang
dipandang perlu untuk melindungi kebutuhan dan keselamatan negaranya.
4.
Bahwa dengan dikeluarkannya
pernyataan Deklarasi Juanda maka pelayaran asing pada alur lintas laut
kepulauan tersebut yang dulunya merupakan alur pelayaran bebas masih
dimungkinkan untuk dilakukan pelayaran internasional dengan maksud damai.
Deklarasi Juanda merupakan konsepsi kewilayahan yang dikenal
dengan “Konsepsi Negara Kepulauan” (Archipelagic
State Concept). Dalam perkembangan selanjutnya, pernyataan tersebut
dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) agar
secepatnya mendapatkan pengakuan serta kekuatan hukum yang pasti. Kemudian pada tahun 1960 ditingkatkan dalam bentuk Undang-undang
Nomor 4/ PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia.
C.Konsepsi Negara
Kepulauan
Konsepsi
negara kepulauan merupakan konsepsi kewilayahan. Ada
tiga prinsip mengenai pengertian
negara kepulauan yaitu :
1.
Negara kepulauan adalah negara
yang terdiri dari pulau dan bentuk-bentuk lain (karang-karang kering dan
sebagainya) yang didasarkan atas kesatuan geografis, ekonomi politik dan
sejarah yang diakui atau dapat diakui seperti itu dan menggambarkan garis lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar dan karang-karang kering terluar dari
kepulauan yang merupakan dasar untuk mengukur laut teritorial.
2.
Perairan yang terletak pada
sisi dalam dari garis pangkal merupakan perairan kepulauan yang berada di bawah
kedaulatan penuh negara kepulauan yang bersangkutan yang meliputi permukaan
laut, dasar laut dan tanah dibawahnya
serta ruang udara di atasnya.
3.
Pada sisi luar dari garis
pangkal terdapat jalur laut selebar 12 mil yang ditarik dari garis pangkal
kepulauan. Laut teritorial berada di bawah kedaulatan penuh negara kepulauan
yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya serta permukaan laut dan ruang udara di atasnya.
D. Perjuangan
Indonesia Mengenai Konsepsi
Negara Kepulauan.
Dengan
dikeluarkannya Deklarasi Juanda maka Indonesia perlu memperjuangkannya
di forum internasional untuk memperoleh pengakuan internasional. Perjuangan
tersebut dilakukan baik secara langsung melalui forum-forum konferensi Hukum Laut
PBB (UNCLOS) dan secara tidak langsung melalui perjanjian bilateral tentang batas maritim dengan negara-negara
tetanga.
Perjuangan Secara
Langsung : Konferensi Hukum Laut PBB ke-1 tahun 1958.
Berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB
tanggal 21 Februari 1958, telah
disepakati akan diadakannya konferensi hukum laut. Resolusi Majelis Umum
diambil berdasarkan pendapat International
Law Commision yang menyarankan perlu
diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut. Dalam konferensi
yang pertama Delegasi Indonesia
diketuai oleh Mr. Subardjo. Mr. Subardjo memulai usahanya untuk memperjuangkan
konsepsi negara kepulauan agar mendapat
pengakuan internasional ,namun pada saat itu tanggapan peserta khususnya
negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang didukung oleh negara-negara
maritim lainnya tidak menyambut baik
pendirian Indonesia.
Meskipun dalam konferensi ini
belum menghasilkan kesepakatan mengenai lebar laut teritorial seperti yang
diperjuangkan Indonesia melalui Deklarasi Juanda tetapi konferensi
ini telah menghasilkan empat buah konvensi, yaitu :
1)
Konvensi Mengenai Laut
Teritorial Dan Jalur Tambahan.
(Convention On The Teritorrial Sea And
Contiguous Zone)
2)
Konvensi Mengenai Laut Lepas
Atau Laut Bebas.
(Convention on The High Seas)
3)
Konvensi Mengenai Perikanan Dan
Perlindungan Kekayaan Hayati Di Laut Lepas. (Convention on Fishing And
Conservation of Living Resources of The
High Seas)
4)
Konvensi Tentang Landas
Kontinen.
(Convention on The Continental Shelf)
Konvensi-konvensi
tersebut di atas telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 19
Tahun 1961, tetapi Indonesia melakukan reservasi pada konvensi tentang laut
teritorial dan jalur tambahan karena perjuangan Indonesia tentang negara
kepulauan belum mendapat pengakuan internasional.
Konferensi
Hukum Laut PBB ke-2 Tahun 1960 .
Antara tahun 1958 dan 1960, terdapat
berbagai perbedaan dalam penetapan lebar laut teritorial di antara negara-negara.
Dengan demikian diperlukannya suatu konferensi hukum laut berikutnya yang
diadakan khusus untuk membahas laut teritorial. Sebagai lanjutan dari
konferensi yang pertama maka pada tahun 1960 di Jenewa kemudian kembali
diadakan konferensi Hukum Laut PBB yang kedua (UNCLOS II).Terdapat berbagai
pendapat mengenai lebar laut teritorial,
yaitu :
Pendapat
Amerika Serikat dan Kanada.
Suatu negara berhak menetapkan lebar laut teritorial sampai batas
maksimal 6 mil yang diukur dari garis pangkal.
Suatu negara berhak menetapkan jalur perikanan yang berbatasan dengan laut
teritorial maksimal 12 mil yang diukur dari garis pangkal laut teritorial. Konsepsi ini dikenal dengan
konsepsi six plus six.
Pendapat negara
berkembang
Suatu
negara berhak untuk menetapkan lebar laut teritorial sampai batas maksimal 12
mil dari garis pangkal . Apabila lebar laut teritorial kurang dari 12 mil maka negara
yang bersangkutan berhak menetapkan jalur perikanan eksklusif yang lebarnya
maksimum 12 mil diukur dari garis pangkal laut teritorial. Berdasarkan
bentuk geografis Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau
yang memiliki sifat dan corak tersendiri serta berdasarkan fakta sejarah bahwa
Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh maka untuk mengukuhkan Deklarasi
Juanda Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-undang No. 4 Prp 1960 tentang Perairan
Indonesia. Dalam kesempatan UNCLOS II perjuangan Indonesia tentang
konsepsi negara kepulauan dilanjutkan dengan membagi-bagikan Undang-undang Nomor 4 Prp 1960 pada peserta
konferensi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, tetapi perjuangan
Indonesia di UNCLOS II tidak membuahkan hasil karena tidak terjadi kesepakatan
antara negara – negara dalam menetapkan lebar laut teritorial sehingga dalam
menetapkan lebar laut teritorial, negara– negara menentukan sesuai dengan
kepentingan negaranya masing-masing.
Konferensi Hukum
Laut PBB Ke-3 Tahun 1982.
Latar belakang dari UNCLOS III ini
adalah negara-negara berkembang
merasakan bahwa ketentuan–ketentuan hukum laut internasional yang berlaku kurang
memberikan keadilan dan kepastian hukum dengan alasan :
1.
Masih banyak dianutnya laut teritorial
yang sempit yang merugikan
hak dan kedaulatan negara-negara pantai terutama negara berkembang.
2.
Perkembangan Ilmu pengetahuan
dan teknologi menimbulkan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumber-sumber kekayaan alam hayati di
laut yang berbatasan dengan negara pantai yang berakibat
merugikan negara -negara berkembang
3. Terjadinya
pencemaran-pencemaran laut yang merugikan negara –negara
pantai.
4. Terjadinya eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam hayati maupun non
hayati di luar landas kontinen yang hanya dinikmati dan menguntungkan negara-negara maju.
Akhirnya pada tahun 1973 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 2750
yang intinya menetapkan akan diadakanya konferensi hukum laut PBB yang ke tiga.
Majelis Umum PBB menugaskan pada Komite Dasar Samudra Dalam (United Nations Sea Bed Committee) untuk
melaksanakan konferensi tersebut. Dalam sidang pertama Komite Dasar Samudra Dalam
PBB (United Nations Sea Bed Committee),Indonesia
bersama-sama dengan Fiji , Mauritius dan
Pilipina menyampaikan pernyataan mengenai prinsip-prinsip negara kepulauan.
Pernyataan tersebut berisi :
·
Negara kepulauan adalah negara
yang terdiri dari pulau-pulau dan bentuk-bentuk lain, yang didasarkan atas
kesatuan geografis, ekonomis, politik dan sejarah, diakui atau dapat diakui
seperti itu dan menggambarkan garis lurus yang menghubungkan titik-titik dari
pulau terluar dan karang –karang kering dimana lebar laut wilayah dari negara
kepulauan ditentukan.
·
Perairan yang terletak di sisi
dalam dari garis pangkal, tidak peduli akan dalamnya atau jaraknya dari pantai,
permukaan laut, dasar laut dan ruang udara di atasnya merupakan miliknya dan
tunduk kepada kedaulatan dari negara kepulauan itu.
·
Lintas damai dari kapal-kapal
asing melalui negara kepulauan akan
diizinkan sesuai dengan peraturan nasionalnya dengan menghormati peraturan–
peraturan hukum internasional.
Pernyataan tersebut di atas disertai permohonan agar
prinsip-prinsip tersebut dipertimbangkan dan dibahas dalam koferensi. Akhirnya
perjuangan Indonesia
selama duapuluhlima tahun mengenai konsepsi negara kepulauan telah membuahkan
hasil. Melalui konferensi Hukum Laut PBB 1982 konsepsi negara kepulauan
mendapat pengakuan internasional. Hal ini dapat dilihat dengan dimuatnya
pengaturan mengenai negara kepulauan (Archipelagic
States) dalam bab IV pasal 46-54 Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Konvensi Hukum
Laut PBB 1982 telah ditandatangani oleh 117 negara peserta di Montego Bay,Jamaika
pada tanggal 10 Desember 1982 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Perjuangan secara tidak langsung.
Perjuangan yang ditempuh Indonesia agar konsepsi negara kepulauan mendapat pengakuan internasional tidak hanya melalui forum Konferensi Hukum Laut PBB tetapi juga melalui forum – forum perjanjian bilateral mengenai batas maritim dengan negara-negara tetangga, antara lain :
c.
Penetapan batas-batas dasar
laut tertentu antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah CommonWealth
Australia tahun
1971.
d.
Persetujuan penetapan
garis-garis batas Landas Kontinen di bagian utara Selat Malaka antara Indonesia – Malaysia - Thailand tahun
1972.
e.
Persetujuan penetapan garis
batas Landas Kontinen di bagian utara Selat Malaka dan di Laut Andaman tahun
1972 antara Indonesia
– Thailand.
f.
Persetujuan penetapan garis
batas dasar laut di daerah Timor dan laut
Arafuru antara tahun 1972 antara Indonesia - Ausralia.
g.
Penetapan garis batas laut
wilayah kedua negara di Selat Singapura tahun 1973 antara Indonesia dan Singapura.
h.
Persetujuan garis batas Landas Kontinen di Laut Andaman
dan Samudra Hindia tahun 1974 antara Indonesia
dengan India.
Perjuangan Indonesia mengenai konsepsi negara kepulauan menunjukkan hasil. Hal ini dibuktikan dengan
tidak adanya negara yang menyatakan keberatan dengan dimasukkannya prinsip-
prinsip negara kepulauan dalam
perjanjian tersebut , dengan menerapkan Undang-undang Nomor 6
Prp 1960 tentang Perairan Indonesia.
Kawasan Laut Berdasarkan Konvensi
Hukum Laut PBB 1982.
Mengacu
kepada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 maka dapat ditetapkan kawasan laut yang
berada di dalam dan di luar yurisdiksi nasional Indonesia.
1.Kawasan Laut
Yang Berada di dalam Yurisdiksi Nasional Indonesia.
Kawasan laut di
bawah kedaulatan penuh ( Souvereignty ).
Perairan kepulauan (Archipelagic waters)
Perairan kepulauan berada di bawah kedaulatan penuh negara Republik Indonesia.
berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dalam Pasal 3 ayat (3)
mengartikan perairan kepulauan Indonesia adalah “semua perairan yang terletak
pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman
atau jaraknya dari pantai”.
Perairan kepulauan terdiri dari perairan pedalaman (internal waters), muara – muara sungai,
perairan pelabuhan, teluk – teluk dan selat yang berada di perairan kepulauan.
Perairan pedalaman terdiri dari laut pedalaman dan perairan darat. Kedaulatan
negara di perairan kepulauan meliputi permukaan laut, dasar laut dan tanah di bawahnya
serta ruang udara di atasnya. Akan tetapi walau di sana terdapat kedaulatan penuh namun terdapat
hak dan kepentingan internasional yang harus dihormati yaitu :
a)
Hak lintas damai (the right of innocent passage)
b)
Hak lintas alur kepulauan (archipelagic sea lanes passage)
c) Hak penangkapan ikan secara tradisional ( Traditional fishing right ).
d)
Hak akses dan komunikasi.
Laut teritorial ( territorial sea )
Kesepakatan mengenai lebar laut teritorial tercapai pada
Konferensi Hukum Laut PBB 1982. Dalam konferensi ini disepakati bahwa lebar
laut teritorial adalah 12 mil dari garis pangkal. Ketentuan ini dicantumkan
dalam Pasal 3 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 yang berbunyi: “setiap negara berhak
menetapkan lebar laut teritorial hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil
laut yang diukur dari garis pangkal”. Rezim hukum
yang berlaku di laut teritorial adalah sovereignty
atau kedaulatan penuh suatu negara baik atas permukaan laut, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta rang udara di atasnya. Walaupun di laut teritorial berlaku
kedaulatan penuh suatu negara namun di sini
terdapat hak dan kepentingan internasional yang harus dihormati yaitu hak
lintas damai (the right of innocent
passage) bagi kapal –kapal asing untuk melewati laut teritorial suatu
negara dengan maksud damai.
kawasan laut yang berada
di bawah hak-hak berdaulat. (Sovereign Rights )
Zona Tambahan (Contiguous zone)
Di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 pengertian dari zona tambahan yaitu jalur laut
yang berdampingan dengan laut teritorial yang diukur 24 mil dari garis pangkal
dimana lebar laut teritorial diukur.
Rezim hukum yang berlaku adalah hak dan kewenangan serta yurisdiksi terbatas di
bidang tertentu yaitu : Bidang Bea Cukai (customs), Imigrasi (imigration), Perpajakan (Fiscal), Kesehatan kelautan (Sanitary)
Di luar empat bidang di atas berarti terdapat kebebasan
– kebebasan internasional yang harus dihormati seperti kebebasan berlayar bagi
kapal asing, kebebasan terbang bagi pesawat asing serta kebebasan memasang pipa
dan kabel bawah laut.
Zona ekonomi eksklusif (exclusive
economic zone)
Pengertian zona ekonomi eksklusif adalah kawasan laut yang
berdampingan dengan laut teritorial yang diukur selebar 200 mil dari garis
pangkal. Zona ini disebut eksklusif karena berlaku dua rezim hukum yaitu :
·
Suigeneris atau rezim hukum khusus yang
menyatakan bahwa wilayah ZEE itu bukan kawasan yang berada dalam kedaulatan
penuh dan bukan pula kawasan yang berlaku rezim hukum laut bebas sepenuhnya.
·
Exclusive right yang memiliki arti
meskipun suatu negara belum mampu mengusahakan kekayaan alam yang berada dalam
ZEE karena keterbatasan teknologi, namun bukan berarti negara lain dapat
memanfaatkan ZEE negara tersebut tanpa izin negara yang bersangkutan. Apabila
negara lain ingin memanfaatkan ZEE suatu negara maka harus dengan seizin negara
yang berhak atas ZEE tersebut.
Hak dan kewenangan negara di Zona Ekonomi
Ekslusif adalah :
·
Melaksanakan hak berdaulat
untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber
daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan melakukan
kegiatan–kegiatan lainnya seperti pembangkit listrik tenaga air, arus laut dan
angin.
·
Mempunyai yurisdiksi dan
kewenangan melakukan pengawasan, menetapkan peraturan dan menegakkan peraturan
tersebut yang berhubungan dengan : Pembuatan dan penggunaan pulau- pulau buatan; Penelitian ilmiah
kelautan; Perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut.
·
Hak-hak dan
kewajiban lain : Hak untuk melaksanakan penegakkan hokum; Hak pengejaran seketika ; Menghormati kebebasan
pelayaran dan penerbangan ; Menghormati kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa bawah laut.
·
Kewajiban yang khusus di bidang
perikanan adalah :
-
Menentukan jumlah ikan yang
boleh ditangkap (the total allowable catch / TAC )
- Menetapkan jumlah kemampuan panen (capacity to harvest /CTH ).
- Menetapkan dan melaksanakan pelestarian terhadap sumber daya alam hayati untuk jenis ikan tertentu
agar tidak terjadi kepunahan ( Maksimum sustainable
yield / MSY ).
- Memberikan surplus di bidang perikanan kepada negara-negara tertentu
.surplus adalah kelebihan dari potensi Perikanan dan kemampuan panen. Syarat-syarat
negara diberikan surplus adalah : Negara tetangga ; Negara berkembang ; Melalui Perjanjian bilateral ; Negara dimana para
nelayannya menangkap ikan jauh dari negaranya.
Selain itu di dalam zona ekonomi eksklusif terdapat kekhususan-kekhususan
di bidang penegakan hukum terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Kekhususan di bidang penegakkan hukum ini
diatur di dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Kekhususan tersebut adalah Sanksi hukuman
yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggar hukum di ZEE tidak boleh berupa sanksi
hukuman badan melainkan sanksi denda atau perampasan barang bukti untuk negara ; Aparat penyidik pelanggaran
hukum di ZEE Indonesia adalah perwira
TNI AL yang ditunjuk oleh Panglima TNI ; Jangka
waktu antara penangkapan dan pemeriksaan maximal tujuh
hari ; pengadilan
negeri / kejaksaan negri yang berwenang adalah pengadilan negri / kejaksaan negri yang wilayah hukumnya meliputi pelabuhan di mana kapal
tersebut ditahan.
Landas Kontinen (
Continental shelf )
Rezim hukum yang berlaku di Landas Kontinen
adalah hak berdaulat dan hak ekslusif. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982
penentuan batas Landas Kontinen dapat menggunakan beberapa alternatif yaitu :
§ Sampai batas terluar tepian kontinen.
§ Sampai jarak 200 mil ke arah laut dari garis pangkal apabila batas
terluar tepian kontinen kurang dari 200 mil.
§ Sampai jarak maximal 350 mil ke arah laut dari garis pangkal bila
batas terluar tepian kontinen lebih dari 200 mil.
§ Sampai jarak 100 mil ke arah
laut dari garis pangkal sampai kedalaman 2500 meter jika batas terluar tepian
kontinen melebihi 200 mil.
2. Kawasan laut yang berada di
luar yuridiksi nasional Indonesia Laut
bebas ( the high seas ).
Laut bebas adalah kawasan laut yang tidak termasuk zona ekonomi eksklusif , laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Rezim hukum
yang berlaku adalah kebebasan laut lepas atau freedoms
of high seas. Kebebasan – kebebasan di
laut lepas adalah :
(1)
Kebebasan berlayar ( freedom of navigation )
(2)
Kebebasan penerbangan ( freedom of flight )
(3)
Kebebasan memasang pipa – pipa
kabel bawah laut (freedom of laying under
water cables and pipe lines)
(4)
Kebebasan melakukan penelitian
ilmiah kelautan (freedom of marine
scientific research)
(5)
Kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing)
(6)
Kebebasan untuk membangun pulau
buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.
(freedom to construct artificial island
and other installations permitted under international law)
Meskipun rezim hukum yang berlaku adalah freedom of the high seas tetapi di
laut bebas negara-negara juga memiliki kewajiban – kewajiban (state obligations) di antaranya adalah :
(1)
Melakukan pemberantasan
kejahatan internasional yang terjadi di laut bebas seperti perdagangan budak, perompakkan di laut, perdagangan
narkotika dan siaran gelap.
(2)
Memberikan pertolongan terhadap
musibah atau kecelakaan di laut. (search
and rescue).
(3)
Mencegah dan menanggulangi
pencemaran laut.
(4)
Melakukan pengawasan terhadap
kapal yang mengibarkan benderanya.
Dasar Samudra Dalam. ( Sea Bed Area )
Dasar Samudra Dalam adalah kawasan laut dan tanah di bawahnya yang
berada di luar yurisdiksi nasional ( di luar Landas Kontinen ) yang berada di bawah pengelolaan langsung Perserikatan Bangsa-Bangsa ( United Nations ).Kawasan Dasar Samudra Dalam dinyatakan sebagai kawasan warisan
bersama umat manusia. Karena Dasar Samudra Dalam digunakan untuk kepentingan
bangsa-bangsa maka dibentuk badan
otorita yang dikenal dengan International
Sea Bed Authority yang dibantu oleh organ-organnya yaitu :
-
Majelis ( the assembly) : mempunyai wewenang menetapkan kebijakan umum.
-
Dewan ( council ) : berwenang menetapkan kebijakan-kebijakan khusus.
-
Sekretariat ( secretariat ) : berwenang dalam bidang
admininistrasi
- Perusahaan (enterpraise) ;
mempunyai wewenang terlibat langsung dalam eksplorasi dan eksploitasi Dasar
Samudra Dalam.
-
The Sea Bed Disputes Chamber : Berwenang menyelesaikan sengketa Dasar Samudra Dalam.
Alumni Fakultas Hukum,Jurusan Hukum Internasional Universitas Trisakti ,Alumni Pascasarjana UNPAD, Jurusan Hukum Internasional
1 Chairul Anwar, Hukum Internasional, Horizon Baru Hukum Laut
Internasional, Konvensi Hukum Laut, 1982 (Jakarta : Penerbit Djambatan,
1989).
2 Kuntoro, Hukum Laut Internasional (Kuliah Hukum Laut
Internasional, Jakarta,
2003).
3Hasjim Djalal,Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut (Bandung
: Percetakan Ekonomi, 1979).
4 Mochtar Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara Pada
Konperensi Hukum Laut Ke III (Jakarta, Idayu Press, 1977).
5 Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Himpunan
Perundang-Undangan Bidang Maritim Tentang Garis Batas Laut Wilayah, Zona
Tambahan, Landas Kontinen Dan ZEE Indonesia (Jakarta : Dinas Hidro
Oseanografi, 2003).
6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Pasal 3 ayat (2).
7 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982, Tentang Hukum Laut,
Pasal 3.
8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983, tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia
9 Konvensi Hukum Laut PBB Pasal 86.